Ekonomi Kerakyatan dan Komitmen Swasembada Pangan
Ekonomi Kerakyatan dan Komitmen Swasembada Pangan
Pilarpertanian - Pilar – Bukan cuma kesalahan dalam mengambil keputusan saja yang bisa membuat orang menjadi miskin, tapi juga perkembangan yang tak terduga.(Hegel)
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Polmark Indonesia, 13 – 25 November 2017 lalu melakukan survei mengenai kepuasan publik terhadap menteri-menteri kabinet kerja yang berprestasi. Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian masuk lima besar menteri yang prestasinya dinilai publik paling menonjol. Eko Bambang Subiantoro, Chief of Research Polmark Indonesia menjelaskan bahwa masyarakat menilai ada upaya yang dilakukan Amran meski dalam level permukaan tapi masyarakat melihat ada upaya, ada langkah, terlepas apakah itu positif ataupun negatif (RMOL/04/01).
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Salah satu upaya dari Kementerian Pertanianan dibawah Menteri Amran setidaknya bisa dirasakan dengan tidak adanya impor beras selama tahun 2016. Implementasi dari gagasan ekonomi Trisakti-nya Bung Karno yang sekaligus menjadi visi-misi Jokowi-JK, berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri dalam bidang ekonomi, yang kemudian dalam terminologi sekarang dikenal dengan ekonomi kerakyatan, diartikan sebagai kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, baik kebutuhan dasar; seperti sandang, pangan dan papan maupun pelayanan-pelayanan dasar berupa pendidikan dan kesehatan.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Komitmen pemenuhan kebutuhan pangan dari hasil keringat petani sendiri tersebut dilakukan melalui pemberian bantuan benih sejumlah 12,1 juta ton, pupuk bersubsidi 27,64 juta ton, asuransi usaha tani 1,2 juta ha. Selain itu, 3-4 juta ha jaringan irigasi tersier telah direhabilitasi, 2.278 unit embung dibangun, 367 ribu lahan rawa dikembangkan, 284-436 unit transplanter dan harvester dibagikan sebagai upaya efisiensi dengan pola mekanisasi dan 1,08 juta ha lahan optimalisasi dan perluasan.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Secara historis, gagasan ekonomi kerakyatan yang kemudian menjadi visi-misi Jokowi-JK menurut Prasetyantoko pada mulanya dibangun dari kesadaran untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat yang termarjinalkan dibawah kolonialisme. Karenanya, perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi Indonesia dari sebuah perekonomian yang berwatak kolonial menjadi sebuah perekonomian berwatak nasional.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Lantas apa yang dimaksud perekonomian berwatak nasional ?. Dengan lugas, Bung Karno menegaskan bahwa perekonomian berwatak nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaaan modal atau faktor-faktor produksi. Maka kita pun bisa memahami ketika Presiden Jokowi memberikan kepastian hukum hak atas tanah dengan pembagian sertifikat tanah. Karena jamak ditemukan, kalahnya rakyat kecil dalam setiap kasus sengketa tanah dengan para pemiliki modal, para pengusaha besar. Sementara, bisa jadi tanah tersebut (baca: sawah) merupakan satu-satunya alat produksi bagi mereka. Seperti diketahui, sejak tahun 2016, secara nasional, pemerintah telah membagikan 9 juta sertifikat, tahun 2018 ditargetkan 7 juta sertifikat akan dibagikan dan 9 juta sertifikat di tahun 2019.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Sampai disini, janji-janji Jokowi-JK berupa program-program pro rakyat kecil selama kampanye satu per satu terpenuhi. Hingga kita dikagetkan dengan pernyataan Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan yang mengumumkan (kamis malam, 11/01) bahwa akhir Januari, Indonesia akan mengimpor 500 ribu ton beras dari Vietnam dan Thailand. Keputusan ini, menurut Menteri Enggar diambil karena pasokan dan stok beras terus mengalami kelangkaan. Sehingga harga beras (medium, premium) di pasaran naik, melewati HET dan sulit dikendalikan.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Jaminan ketersediaan beras dari Kementan melalui Kepala Badan Ketahanan Pangan, Agung Hendardi, dirasa belum menjawab keraguan pasar yang selama ini diberitakan media. Padahal Agung menegaskan pada Januari 2018, produksi gabah kering giling (GKG) diprediksi mencapai 4,5 juta ton atau setara dengan 2,8 juta ton beras. Sementara kebutuhan per bulan konsumsi beras sekitar 2,4 – 2,5 juta ton dan akan terus bertambah karena Februari dan Maret akan terjadi panen raya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Ombudsman RI, lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan mencium ada beberapa keganjilan dalam pengambilan keputusan impor beras tersebut. Alamsyah Saragih, komisioner Ombudsman seperti diberitakan detik.com (14/01) menyatakan bahwa Ombudsman sedang melakukan pendataan mengenai stok beras di beberapa wilayah di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa wilayah yang memang terjadi kelangkaan beras, namun sebagian juga akan ada yang berlebih.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Apa yang dilakukan Ombudsman RI tersebut patut diapresiasi dan didukung. Sebagai upaya menutup celah, melawan para penumpang gelap, eco-politic hitman, yang hanya ingin memuaskan diri sendiri dan kelompoknya dengan mengabaikan kepentingan orang banyak, 25 juta petani. NKRI harga mati, menikmati nasi dari bumi sendiri, bukan basa-basi.(ZK).