Harga Gabah Anjlok Di Saat Memasuki Panen Raya
Harga Gabah Anjlok Di Saat Memasuki Panen Raya
Pilarpertanian - Pilar – Memasuki panen raya tahun ini, harga gabah di beberapa sentra produksi beras nasional mulai anjlok. Padahal, minggu lalu, harga gabah kering panen (GKP) di daerah-daerah masih berkisar di atas Rp 5.000 per kilogram.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Anjloknya harga gabah ini tentu banyak mendapat keluhan para petani, karena mereka tidak bisa menikmati keuntungan dari hasil kerja kerasnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Semiyati, salah seorang petani di Desa Keyongan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menyalahkan rencana pemerintah yang akan melakukan impor beras, karena akan membuat harga gabah makin turun.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Harga jual gabah yang rendah bisa membuat petani merugi. Biaya produksi padi cukup tinggi, karena harga pupuk dan biaya tenaga kerja juga tinggi,” kata Semiyati, Senin (29/1).
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Menurutnya, kalau pemerintah mau impor, petani justru males menanam padi, karena harga gabah murah.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Saat panen terakhir, harga gabah di tingkat petani sangat bagus, sehingga para petani bersemangat menanam padi. Petani pun sangat menjaga sawahnya dari serangan hama dan penyakit tanaman,” kata Semiyati.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Petani kecewa, ketika panen raya harga gabah cenderung turun mencapai harga terendah. Kalau harga agak lumayan, kita semangat,” tambahnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Semiyati pun mengharapkan pemerintah tidak melakukan impor beras. “Kalau bisa nggak usah impor, biar harganya bagus lagi, Pak Jokowi kan dari sini, tolong dong dengar tetangganya sendiri,” ujarnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Senada dengan Semiyati, Ketua Gabungan Kelompok Tani “Tani Makmur”, Desa Ketitang, Kecamatan Nogosari, Boyolali, Mulyono, meminta agar pemerintah membatalkan impor beras. Menurutnya, petani tidak meminta banyak dari pemerintah, yang penting pemerintah bisa menjaga harga jual gabah stabil.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Saya mohon tidak perlu impor beras, biar harga gabah di petani stabil, tidak rendah sekali,” tutur Mulyono.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Pemerintah menurut Mulyono, bisa membantu, daerah Nogosari yang akan mengalami puncak panen sampai Februari mendatang.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Menurut Pomo, Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Boyolali, pekan lalu harga jual GKP di lapangan berkisar antara Rp 5.200 sampai Rp 5.300 per kilogram. Namun saat ini, anjlok menjadi Rp 4.700 per kilogram di tingkat petani.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Masalah produksi dan kebutuhan beras, di Boyolali, menurut Pomo, hingga Desember tahun lalu, daerahnya surplus beras sekitar 540 ribu ton.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Kelebihan beras dijual untuk memenuhi kebutuhan daerah sekitar, seperti Purwodadi, Demak, dan Semarang. Untuk cadangan juga masih cukup. Barang ada di rumah tangga,” ujar Pomo.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Pomo, menambahkan bahwa, saat ini petani hanya khawatir rencana impor beras di saat panen raya. “Kalau jadi impor, kasihan petani. Nanti malah malas nandur (menanam), karena harga gabah terlalu murah. Apa petani tetap mau nanem, kalau sudah dihantui harga turun, ada impor, ya lemes jadinya,” tambahnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Sedangkan ketua Kelompok Tani Timbul Jaya Desa Pleset Kecamatan Pangkur Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Purwoto Eko Yuwono, mengatakan, pada awal panen bulan ini, petani bisa menjual GKP seharga Rp 5.200 per kilogram. Namun, saat ini harga gabah anjlok sampai Rp 4.800 per kilogram.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Awal panen bulan ini harga bagus, petani senang. Tapi, sekarang ini hampir panen raya, semakin hari semakin turun. Petani tentu kecewa karena panen sudah ditunggu tiga bulan, hasilnya untuk bayar utang segala macam, kok harganya malah turun,” kata Purwoto.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Purwoto menambahkan, seluruh lahan sawah anggotanya mencapai 328 hektare siap panen, dengan rata-rata produksi 8,5 ton per hektare. Hasil produksi dijual ke luar kota, karena surplus sangat besar.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Terkait rencana impor beras, para petani di Pangkur menurut Purwoto menyalahkan pemerintah, karena menyebabkan para tengkulak dan pengepul tidak mau membeli gabah petani dengan harga bagus seperti panen sebelumnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Rencana impor akan membuat petani semakin terpuruk. Kan aneh, waktu panen banyak kok malah impor? Kami jelas tidak terima,” kata Purwoto.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Kami punya gabah melimpah. Jangan petani terus jadi korban,” tambahnya, sambil meminta pemerintah mengkaji ulang rencana impor beras.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Sementara itu, Kepala Dinas Pangan dan Perikanan Kabupaten Ngawi, Sunito, menyatakan, produksi beras para petani Ngawi dari luas lahan sawah mencapai 45 ribu hektare berjumlah 750 ribu sampai 800 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu, penduduk Ngawi hanya menggunakan sekitar 20 persennya saja. Dengan kata lain, sebanyak 80 persen hasil produksi beras Ngawi dipasarkan ke daerah lain.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Makanya, kita minta jangan impor saat ini. Panen raya sudah mulai, mau beli beras masih ada banyak kok, nggak bakal kesulitan. Ini Ngawi dan sekitarnya saja sudah cukup, selalu over produk,” ujar Sunito.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Ketua KTNA Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Juharto menyatakan, petani mulai resah dengan rencana pemerintah mengimpor beras. Petani juga menyebutkan, rencana impor tersebut merupakan biang keladi atas kondisi harga gabah yang turun saat ini.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Dua pekan lalu kita jual gabah panen yang manual Rp 5.800 per kilogram, sekarang tinggal Rp 4.800 per kilogram. Petani se-Kabupaten Pati minta supaya impor dibatalkan. Pati ada surplus ratusan ribu ton beras. Kalau impor diteruskan, kita dianggap bangsa yang bodoh karena nggak bisa bertani,” ujar Juharto.(RS).