Wakil Ketua HKTI: Perlu Lartas dan HPP Guna Mewujudkan Ekosistem Kedelai Nasional
Wakil Ketua HKTI: Perlu Lartas dan HPP Guna Mewujudkan Ekosistem Kedelai Nasional
Pilarpertanian - Kegaduhan kedelai sudah menjadi isu nasional setiap tahunnya pada masa 2 tahun terakhir ini, masalahnya selalu saja harga kedelai yang diterima Pengrajin Tempe Tahu Nasional. Menurut Ki Musbar Mesdi yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum HKTI saat diwawancara hari Rabu (2/3), sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi apabila kebutuhan kedelai nasional dicukupi sebagian dari produksi lokal, tidak seperti yang terjadi saat ini ketergantungan pada kedelai impor mencapai 90%.
”Bayangkan impor kedelai rata-rata empat tahun terakhir 2,6 juta ton, atau senilai Rp 15,8 T setahun, “ sebut Ki Musbar.
Petani kedelai lokal mempunyai peluang besar untuk mengambil sebagian dari porsi kedelai impor, dan saat ini terasa sekali bagi mereka dengan harga kedelai lokal di level Rp 8.000 – 9.000/kg membuat menjadi semangat kembali menanam di sentra-sentra kedelai. Dengan produktivitas 1,5 – 2,5 ton/ha menjadi harapan bagi income petani untuk bisa masuk garis sejahtera.
“Ingat peluang itu bisa kita raih dengan membangun Ekosistem Usaha Tani Kedelai, dengan keyakinan bahwa tahun 1990 an kita pernah swasembada kedelai, kalau kurang barulah kita impor,“ jelas Ki Musbar.
Lebih lanjut Ki Musbar menjelaskan bahwa kedelai lokal adalah produk unggulan, karena bersifat non GMO (transgenic) dan itu sangat cocok untuk produk tahu tempe lokal. “Kedelai lokal mempunyai aroma yang harum dan segar sehingga produk tempe punya nilai tambah untuk diekspor,” tambahnya. Adapun penanaman kedelai lokal boleh dikatakan tidak mengenal musim karena bisa dilakukan sistem tumpang sisip dengan komoditas Hortikultura maupun Pangan lainnya.
Masih dengan semangat yang tinggi, Ki Musbar menambahkan ada beberapa hal yang harus diberi perhatian khusus dalam dukungan membangun ekosistem kedelai bila mau swasembada, salah satunya adalah pengaturan mekanisme importasi yang harus disesuaikan dengan neraca produksi kedelai dalam negeri.
Berikutnya, regulasi importasi non lartas harus dirubah menjadi lartas serta wajib dikenai bea masuk untuk melindungi kepentingan petani kedelai nasional. “Petani harus merasa aman dan nyaman agar mereka dapat bekerja dengan tenang,” tuturnya.
Selanjutnya, hal yang tidak kalah penting menurutnya komoditas kedelai sebaiknya ditetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) bukan Harga Acuan Pemerintah (HAP). Setelah semua itu sudah bisa berjalan maka semua akan kembali ke fungsinya dan Bulog perlu diberi kesempatan untuk kembali ke habitatnya mengurusi kedelai nasional.
“Jadi dengan konsep membangun Ekosistem Produksi Nasional diharapkan dalam waktu setahun atau dua tahun kedepan persentase kedelai import dapat dikurangi sehingga dapat memberi kesempatan petani kedelai kita hidup sejahtera,“ tutupnya.(ND)