Pilar Pertanian

Berita Pertanian Aktual

14 August 2025

Sinergi Lintas Sektor, Kementan, Polri, dan Bapanas Ungkap Modus dan Langkah Penegakan Hukum Beras Oplosan

Sinergi Lintas Sektor, Kementan, Polri, dan Bapanas Ungkap Modus dan Langkah Penegakan Hukum Beras Oplosan
Pemerintah Berkoordinasi dengan Seluruh Pihak untuk Memberantas Mafia Beras di Indonesia.
14 August 2025

Sinergi Lintas Sektor, Kementan, Polri, dan Bapanas Ungkap Modus dan Langkah Penegakan Hukum Beras Oplosan

Pilarpertanian - Skandal beras oplosan yang merugikan masyarakat hingga Rp99,35 triliun kini menjadi sorotan publik. Dalam wawancara eksklusif bersama salah satu media swasta nasional, Kementerian Pertanian (Kementan), Satgas Pangan Polri, dan Badan Pangan Nasional membeberkan secara rinci awal mula temuan, modus operandi para pelaku, hingga upaya penegakan hukum dan langkah koreksi kebijakan, Rabu (13 Agustus 2025).

Staf Khusus Menteri Pertanian Bidang Kebijakan Pertanian, Sam Herodian, mengungkap bahwa kasus ini bermula dari keganjilan di lapangan.

“Awalnya keresahan kami muncul ketika stok di Bulog berada di titik tertinggi selama ini, tapi harga gabah di petani masih ada yang di bawah HPP. Kok tiba-tiba ada teriakan kekurangan beras dan stok di lapangan berkurang? Ini kan tanda tanya,” ujarnya.

Atas instruksi Menteri Pertanian, tim Kementan melakukan pengecekan. Hasilnya mengejutkan: dari ratusan merek yang diperiksa, hasil uji laboratorium menunjukkan lebih dari 85% tidak memenuhi standar mutu aturan yang berlaku.

“Kami masukkan ke 13 laboratorium di seluruh Indonesia. Ternyata ada beras yang seharusnya premium, tapi kualitasnya hanya medium. Bahkan ada yang patahnya hampir 50%. Ini artinya masyarakat sangat dirugikan,” tegas Sam.

Ia menjelaskan, pencampuran beras sebenarnya lazim dalam industri untuk menyesuaikan kualitas. Namun, persoalan muncul jika produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan mutu yang tertera di label.

Disisi lanjutan, Kasatgas Pangan Polri, Helfi Assegaf, membeberkan bagaimana penyelidikan dimulai terkait kasus beras oplosan tersebut.

“Berawal dari surat Menteri Pertanian kepada Kapolri tanggal 26 Juni 2025, kami menindaklanjuti hasil investigasi itu dengan laporan informasi, pengecekan lapangan, dan uji laboratorium. Dari 16 sampel yang kami ambil, seluruhnya tidak memenuhi standar,” ujarnya.

Polri kemudian menaikkan status kasus ke penyidikan dan menetapkan enam tersangka di tingkat pusat, sementara di jajaran Polda terdapat 20 perkara dengan 26 tersangka. Menurut Helfi, modus yang digunakan para pelaku terbilang sistematis.

“Mereka memproduksi dan memperdagangkan beras melanggar Permentan 31/2017 dan Peraturan Kepala Bapanas No. 2/2023. Mesin produksi modern mereka by setting, kadar air, persentase pecahan, semua diatur sejak awal untuk keuntungan maksimal,” jelasnya.

Bahkan, kualitas beras sengaja diatur di bawah standar. SOP yang mengharuskan pengecekan setiap dua jam hanya dilakukan dua kali sehari.

“Ini dilakukan dengan sengaja. Motifnya jelas, keuntungan lebih besar. Padahal margin normal sudah cukup,” tambahnya.

Dari pengungkapan ini, penyidik menyita sekitar 200 ton beras, mesin-mesin produksi, dan bahan kemasan. Namun, untuk menjaga ketersediaan, perusahaan diizinkan berproduksi kembali dengan syarat mutu sesuai aturan.

Sementara itu Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menekankan bahwa blending menjadi permasalahan terlebih jika tidak sesuai standar.

“Kalau di packaging tertulis ‘premium’, berarti kadar patahnya maksimal 15%. Namun, ditemukan ada yang 25%, 30%, bahkan 40%, itu pelanggaran. Prinsipnya sederhana, konsumen harus mendapatkan kualitas sesuai label,” jelas Arief.

Ia menambahkan, pengawasan melibatkan lintas kementerian dan Satgas Pangan, serta Dinas Urusan Pangan di daerah. Beras kemasan lebih mudah dilacak ketimbang beras curah.

“Kalau ditemukan di luar standar, tidak usah ditarik dari pasar, tapi jual sesuai mutu dengan harga yang tepat. Stok kita aman, jadi tidak ada alasan kelangkaan,” ujarnya.

Terkait kerugian masyarakat dan negara, Helfi menguraikan, kerugian masyarakat muncul karena membeli medium dengan harga premium, bahkan di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

“Selisihnya bisa Rp2.400 per kilo. Kalikan konsumsi nasional, kerugiannya luar biasa. Negara juga dirugikan karena subsidi pupuk, bibit, dan alsintan yang totalnya ratusan triliun tidak tepat sasaran,” tegasnya.

Untuk sisi penegakan hukum, menurut Helfi, para tersangka dijerat UU Perlindungan Konsumen dan Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan ancaman hingga 20 tahun penjara.

Sam Herodian menambahkan bahwa Kementan fokus pada sisi hulu, memastikan petani mendapatkan harga yang layak. Sementara itu, Arief menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga terkait untuk menentukan struktur harga wajar dari petani hingga konsumen. Selain itu, perlunya “self correction” bagi seluruh pihak terkait baik di hulu maupun hilir demi menjaga HPP gabah maupun HET beras.

“Harga harus wajar di semua rantai pasok. Jangan mengurangi kualitas atau menambah broken demi margin. Itu merugikan 280 juta rakyat Indonesia,” ujar Arief.

Dengan stok cadangan beras pemerintah yang mencapai 4,2 juta ton, operasi pasar, dan pengawasan terpadu, pemerintah optimistis harga beras dapat kembali stabil, sementara kasus ini menjadi pelajaran penting bagi industri perberasan nasional.(PW)

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *