Urgensi Holding Dan Lembaga Pangan
Urgensi Holding Dan Lembaga Pangan
Pilarpertanian - Pemerintah medio Agustus 2016 lalu, telah memutuskan untuk membentuk induk usaha (Holding) pangan yang ditargetkan sudah harus terbentuk Desember 2016. Tercatat delapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan, yaitu Perum BULOG, PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), Bandha Ghara Reksa (Persero), PT Berdikari, Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), Perikanan Nusantara (Periknus), dan Perikanan Indonesia (Perindo) akan diakuisisi dibawah naungan Perum BULOG menjadi Holding Pangan.
Pilar – Setidaknya ada dua pertimbangan kuat yang menjadikan Perum BULOG sebagai Holding pangan. Pertama, dari sisi regulasi telah terbit PP Nomor 13/2006 tentang Perum BULOG dan Perpres Nomor 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, yang memberikan keleluasaan kepada BULOG untuk mengelola berbagai komoditas pangan strategis. Kedua, dari sisi sarana dan prasarana cukup memadai dengan jangkauan hingga kabupaten. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya 1.550 gudang, 132 unit pengelola gabah/beras, dan 319 unit pusat distribusi pangan/BULOG Mart yang tersebar di 26 Provinsi, serta 130 sub divisi regional, bisa menjadi modal BULOG dalam pengembangan pemasaran industri pangan.
Gagasan pembentukan Holding Pangan muncul sebagai langkah strategis untuk mengatasi berbagai masalah pangan yang kerap muncul tiap tahun seperti kelangkaan pangan tertentu yang menyebabkan pemerintah harus melakukan impor pangan tertentu dan harga pangan yang melambung tinggi yang berdampak pada kenaikan inflasi. Sehingga urgensi kehadiran Holding Pangan yang berdayasaing kuat sangat diperlukan sebagai salah satu solusi ditengah gempuran tantangan global dan domestik.
Sejatinya konstruksi kedaulatan pangan harus didukung pilar triangulasi yang melibatkan sinergi petani, BUMN (pemerintah), dan swasta (korporasi). Mengapa demikian?, karena kondisi saat ini relasi ketiga pilar tersebut sejauh ini belum menunjukkan sinergi mutualisme, melainkan justru membentuk relasi asimetris yang berorientasi egosentris pada masing- masing pilar. Petani dalam relasi ini, sudah pasti cenderung berada di posisi tawar terlemah dimana marjin yang diterima petani terlalu kecil, sehingga insentif produksi menjadi rendah. Dalam kondisi ini, Holding dapat menguatkan fungsi produksi pilar petani, sekaligus menjadi kompetitor terhadap pilar swasta khususnya asing. Melalui skema tersebut, secara operasional PT Pertani dapat menyediakan alat mesin pertanian dan asuransi petani, PT Sang Hyang Seri menyediakan benih, Perum BULOG untuk pemasaran dan distribusi perdagangan pangan. Jadi produksi ada di masyarakat atau swasta, tetapi biaya yang menunjang pertanian harus di negara dan sedapat mungkin produksi bibit jangan diserahkan kepada swasta karena akan terbentuk konglomerasi nantinya.
Dengan kata lain, dalam hal ini Holding pangan berperan membantu Kementerian Pertanian menekan biaya produksi pangan dengan menyediakan benih dan alat mesin pertanian yang murah untuk petani. Lalu Perum BULOG menjaga agar harga di tingkat petani tidak jatuh tapi pangan tetap terjangkau oleh konsumen. Sehingga ketiga pilar saling menguatkan satu sama lain bukan mengambilalih salah satu fungsi pilar tersebut.
TANTANGAN ADMINISTRATIF DAN BUDAYA
Namun demikian, pembentukan Holding pangan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. ada tiga potensi tantangan administratif yang akan muncul dalam pendirian Holding pangan. Pertama, terkait status pegawai BUMN yang akan diakuisisi dan status imbalan prestasi kerja (IPK) pegawai BUMN ketika ditempatkan di badan hukum baru pasca dilakukan merger. Potensi yang kedua berkaitan dengan Holding perusahaan itu sendiri khususnya mengenai status tertentu ketika badan hukum terdahulu pasca dilakukan merger. Sebagai ilustrasi, apabila akan melakukan proses lelang, kemampuan dasar akan dianggap nol atau diulang kembali sejak awal sebagai perusahaan baru sehingga dikhawatirkan akan menghambat keleluasaan dalam kerjasama kontraktual terutama kemampuan dasar perusahaan. Dan yang ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah dari sisi perizinan perusahaan. Aspek perizinan menjadi cukup krusial terutama pada saat transisi mengingat terdapat izin yang telah dimiliki anak perusahaan Holding sebelum dilakukan merger tetap berlaku pasca dilakukan merger. Disini koordinasi dengan otoritas yang mengeluarkan izin menjadi kunci agar dalam proses perizinan tidak bermasalah dikemudian hari.
Perbedaan budaya perusahaan yang dibawa dari masing- masing sedikit banyak juga menjadi kendala dalam pembentukan Holding pangan. Ditambah lagi kondisi keuangan dan manajemen beberapa perusahan BUMN yang akan dimerger memiliki kinerja yang kurang sehat. Sejatinya, Holding pangan dibentuk sebagai perusahaan baru dengan struktur, fungsi, mekanisme baru, bukan hasil gabungan dari beberapa perusahaan BUMN yang kurang sehat.
REGULATOR-OPERATOR
Tidak berhenti pada sisi administratif, tantangan lain yang akan muncul sebelum membuat Holding pangan adalah pentingnya pembentukan lembaga pangan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan. Di pasal 126 dinyatakan bahwa harus dibentuk Lembaga Pemerintah untuk menangani pangan yang bertanggung jawab pada Presiden. Dimana dalam pembentukkannya seyogyanya sudah harus terbentuk paling lama 3 tahun sejak diundangkan Oktober 2015, namun hingga saat ini masih belum terbentuk. Secara konseptual Pemerintah telah menyiapkan Badan Pangan Nasional (BPN) sebagai amanat undang-undang pangan tersebut. Diharapkan kehadiran BPN ini dapat mengusulkan pada Presiden untuk memberi penugasan khusus pada BUMN untuk melaksanakan fungsi produksi, pengadaan, penyimpanan, atau distribusi pangan.
Oleh karena itu, dalam relasi regulator-operator pembentukan Holding pangan bisa disinergikan dengan BPN secara linier. Badan Pangan Nasional berfungsi sebagai regulator yang menghasilkan kebijakan di sektor pangan, sedangkan Holding pangan berperan sebagai operator atau pelaksana kebijakan. Peran BPN kelak harus memiliki otoritas, integritas, dan tugas serta fungsi (tusi) yang kuat. Tidak sekedar menaikkan status Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang saat ini melekat di eselon I Kementerian Pertanian, menjadi lembaga pemerintah non-kementerian. Salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk memperkuat kewenangan dan fungsi BPN adalah menyatukan seluruh tusi yang ada di kementerian/lembaga menjadi melekat di lembaga pangan tersebut. Selain agar BPN menjadi powerfull dari sisi otoritas juga untuk mempersingkat rantai birokrasi yang begitu panjang dan tumpang tindih tusi selama ini. Opsi tersebut kemungkinan besar akan mendapat tentangan dari berbagai pihak namun demikian, opsi tersebut setidaknya bisa memecahkan kebuntuan lemahnya koordinasi yang terjadi selama ini.
Pada akhirnya, agar Holding pangan dapat kuat dan berdaya saing serta berfungsi secara efektif seharusnya tidak berorientasi keuntungan tetapi juga dapat mengintegrasikan fungsi agribisnis dari hulu hingga hilir. Artinya, disisi hulu berkontribusi pada peningkatan produksi pangan, mendorong kepastian penyediaan benih dan sarana produksi pertanian, serta menjaga harga di tingkat petani sehingga meningkatkan kesejahteraan petani. Di tengah mendukung pengadaan asuransi petani dan penyuluhan sebagai wahana alih transfer teknologi, serta disisi hilir melakukan penguatan fungsi logistik dan pemasaran, penyerapan hasil produk petani, dan mengintervensi pasar agar harga pangan tidak melonjak tinggi. Sehingga kehadiran Holding pangan yang selaras dengan pendirian BPN kelak dapat mengurai polemik permasalahan pangan selama ini dan cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan akan tercapai.
*) Penulis adalah alumni Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada