Indonesia Food Watch: Mungkin Menko Perekonomian Darmin Sudah Pikun Data Pangan
Indonesia Food Watch: Mungkin Menko Perekonomian Darmin Sudah Pikun Data Pangan
Pilarpertanian - Pilar – Koordinator Nasional Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey angkat bicara terkait polemik impor beras saat ini sehingga terjadi pro-kontra kebijakan impor.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Apalagi baru-baru ini Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution melontarkan pernyataan ke publik bahwa polemik impor beras tersebut disebabkan karena data proyeksi produksi dari Kementerian Pertanian (Kementan) selalu meleset.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Pri Menix menilai pernyataan Menko Darmin tersebut merupakan upaya untuk menutupi kesalahan kebijakan impor beras dan berpihak kepada mafia pangan. Pasalnya, sebagai ekonom senior, tidak mungkin tidak memahami soal proses dan lembaga mana yang diberi kewenangan mengolah, menghasilkan dan mengeluarkan data.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Mungkin Pak Menko sudah pikun data. Sejak jaman orde baru hingga sekatang kan ya BPS (Badan Pusat Statistik) yang mengolah dan merilis data pangan. Apalagi data yang dijadikan pijakan kebijakan impor,” tegas Pri Menix di Jakarta melalui surat rilis, Kamis (20/9/2018).
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Pria yang juga sebagai peneliti di Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, menegaskan dengan merujuk arahan Presiden bahwa agar satu data dan satu peta. Data dikoordinasikan oleh BPS, sehingga sudah sangat jelas bahwa data bukan dari Kementan, tetapi satu pintu dari BPS.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Setahu saya Kementan tidak pernah mengolah data. Makanya kalau pun Kementan atau kementerian teknis menyampaikan data, itu pasti data hasil olahan dari BPS. Semua kementerian teknis pasti melakukan hal seperti itu. Kami pun sebagai pengamat dan peneliti selalu dalam analisis menggunakan data BPS,” jelasnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Karena itu, Pri Menix menekankan polemik data produksi harus dengan jeli melihat akar masalahnya dan semua pihak harus jujur mengakuinya. Bahwa masalahnya sudah tiga tahun BPS tiarap, karena instruksi Presiden untuk memperbaikan data tak kunjung selesai dikerjakan.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Sebenarnya aneh juga jika kebijakan impor tidak tepat yang disalahkn data. Data itu jangan dijadikan kambing hitam, data disalah-salahkan tidak akan protes,” ujarnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Lebih lanjut Pri Menix sebutkan, data produksi yang ada adalah maksimal dimiliki pemerintah saat ini, terlepas dari kelebihan dan kelemahanya, harus mampu menganalisis dan kebijakan dengan tepat. Artinya, hingga hari ini tidak ada data yang lebih bagus dan lebih lengkap dari pada data BPS.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Silakan ditampilkan bila ada yang merasa memiliki data lebih bagus. Daripada menunggu memperbaiki data pangan yang dari 2015 hingga sekarang juga belum selesai,” tantang Pri Menix.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Tapi harap dicatat juga, metode KSA (red.kerangka sampling area) yang akan dirilis pun belum menyelesaikan masalah, pasti ada kelemahan-kelemahannya. Jangan sampai menyelesaikan masalah dengan nambah masalah baru,” pintanya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
Meski demikian, Pri Menix menegaskan jika data produksi sudah jelas-jelas surplus, mengapa malah ambil kebijakan impor. Terbukti, dampaknya baru tahu sekarang ini.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Harga tetap tinggi di pasaran, padahal produksi banyak, pasokan berlebih, stok pasar induk di atas 48.000 ton, 2 hingga 3 kali lipat dari tahun lalu, stok bulog sekarang 2,3 juta ton cukup hingga Juni 2019,”ujarnya.
Baca Selengkapnya di Pilarpertanian.com
“Jadi kalau melihat ini mestinya yang harus dibenahi tata niaga dan perdagangn berasnya. Nampaknya kebijakan impor beras kayak salah terapi ngobati masalah. Sakit kepala mikir beras kok dikasih obat sakit maag,” pungkasnya. (CN)