Inilah Eranya Kebangkitan Kejayaan Kopi Arabika Wamena Papua
Inilah Eranya Kebangkitan Kejayaan Kopi Arabika Wamena Papua
Pilarpertanian - Pilar – Kampung Yagara, Distrik Walesi, Jayawijaya menjadi saksi penyerahan 20.000 bibit Kopi Arabika Varietas Lini S795 kepada petani Kab Jayawijaya. Kepala BPTP Balitbangtan Papua, Dr. Ir. Muhammad Thamrin, M.Si, mewakili Ka Balitbangtan-Kementan menyerahkan secara langsung kepada Kepala Dinas Pertanian Jawijaya, John Hendri Tetelepta, SP, M.Si dan disaksikan secara langsung oleh Kepala Kampung Yagara,Maksimus Lani. Bicara kopi Papua tak lepas seperti mata dan bibir. Jika disebut Kopi Wamena pasti timbul rasa ingin untuk cicipi dan hirup aroma cita rasa khas kopi Lembah Baliem itu. Si hitam kopi kandungan asam lebih rendah dibandingkan dengan kopi lainnya adalah karakter rahasia yang tersimpan. Waaa waaa waaa itulah teriakan khas masyarakat Jayawijaya yang berarti ucapan rasa syukur dan terima kasih atas apa yang dicapai dari suatu pekerjaan yang telah selesai dikerjakan dan membuahkan hasil sesuai dengan harapan. Luas lahan Perkebunan Kopi di Jayawijaya hingga tahun 2017 seluas 1910 ha tersebar di 24 Distrik seperti di Walesi, Kurulu, Hubertus dan Pyramid yang merupakan paling potensial perkembangannya. Seluas 480 ha masih berproduksi dan 300ha nya masih dalam tahap proses pemeliharaan pertumbuhan dan sekitar 1000 ha tidak terawat. Hal ini disebabkan kondisi tanaman yang sudah cukup tua dan tanpa menggunakan pupuk kimia (organik) sehingga rata-rata produksi 600 – 650kg/ha. Menurut Kepala Dinas Pertanian Jayawijaya bahwa produksi Kopi Wamena di tahun 2017 hanya sebanyak 125,8 ton. Hal ini disebabkan semakin menurunnya hasil produksi dan kurangnya sentuhan inovasi teknologi utamanya dalam pengendalian hama dan penyakit. Upaya Pemda Kab. Jayawijaya melalui Dinas Pertanian pada tahun yang sama melakukan optimalisasi lahan dengan sistim peremajaan dan perbaikan kebun seluas 200 ha serta didukung oleh BPTP Papua. Saat ini produksi bibit ada sebanyak 20.000 pohon diharapkan mampu menambah luasan lahan kebun kopi dan kedepannya kopi papua bangkit dari tidurnya. Pada umumnya para penggiat kopi hanya melirik pada hasil akhir yaitu ketika sudah jadi bubuk, sehingga harga jual tergolong rendah. Sementara kopi wamena sebagian besar hanya bisa diperdagangkan dalam kota dan antar kabupaten saja karena terkendala sarana transportasi via udara saja. Ketika kopi ini dijual di luar harganya melambung tinggi hingga 250.000/kg. Jayawijaya yang hanya bisa diakses melalui pesawat udara dari Jayapura menyebabkan biaya upah, transport, bahan baku dan tenaga kerja cukup tinggi. Selain cost product yang tinggi, hal lain adalah terkait penguasaan tanah. Adanya hak ulayat adat yakni hak masyarakat adat atas tanah yang berada di wilayah adatnya, membuat investor enggan berinvestasi di sektor hulu. Beberapa lembaga/bank/pengusaha kopi lebih tertarik untuk bergerak di sektor hilir yakni menerima kopi yang sudah siap dipasarkan. Melihat kondisi tersebut perlu perhatian lebih kepada pekebun kopi agar dapat memperbaiki taraf hidupnya dengan memberikan berbagi informasi tentang potensi dan peluang kopi,memfasilitasinya dalam bentuk pelatihan atau bimbingan teknolgi yang mengarah pada kelembagaan sampai ke mitra usaha sehingga mampu bersaing di kanca nasional kalau perlu menembus internasional. (RS)