Kementan Berikan Rekomendasi Teknologi Adaptasi dan Mitigasi Hadapi Perubahan Iklim Subsektor Hortikultura
Kementan Berikan Rekomendasi Teknologi Adaptasi dan Mitigasi Hadapi Perubahan Iklim Subsektor Hortikultura
Pilarpertanian - Perubahan iklim menjadi tantangan yang dihadapi oleh pertanian Indonesia saat ini. Walaupun demikian, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan bahwa perubahan iklim ini tidak menyurutkan langkah Kementerian Pertanian untuk terus memenuhi pangan dan mensejahterakan petani di Indonesia, salah satunya melalui peningkatan teknologi.
“Pertanian tidak boleh terhenti, pemerintah harus hadir dan bergerak cepat dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim ekstrim,” ungkap Mentan SYL.
Dalam pengembangan budi daya hortikultura, dampak perubahan iklim berupa peningkatan frekuensi iklim yang dapat menyebabkan banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara dan permukaan laut, perubahan curah hujan, meningkatnya potensi serangan OPT dan sebagainya dapat mempengaruhi produktivitas dan praktik budi daya yang dilakukan.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menyampaikan berbagai strategi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Hortikultura untuk menghadapi dampak perubahan iklim, antara lain yakni berupa antisipasi, adaptasi dan mitigasi.
“Antisipasi berupa pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif terhadap sektor pertanian. Adaptasi berupa penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak perubahan iklim, dan selanjutnya mitigasi yaitu usaha dalam mengurangi risiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca,” ujar Prihasto.
Teknologi 4.0 di bidang pertanian menjadi sesuatu yang penting untuk menghadapi perubahan iklim. Teknologi berkembang dengan tujuan untuk menghindari risiko-risiko kerugian dalam budi daya pertanian yang berkaitan dengan perubahan iklim seperti gagal tanam dan serangan hama.
“Masalah terkini yang dihadapi yaitu efek dari perubahan iklim yang berakibat kerugian ekonomi. Yang pertama karena masalah level informasi terkait dengan cuaca hanya sampai kecamatan, padahal cuaca sangat fluktuatif. Ini berpengaruh pada cara budidayanya. Selanjutnya dari literasi, pengetahuan tentang iklim yang harus diketahui dan dibaca oleh para petani,” jelas Bayu, dari Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Kebutuhan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim dapat berupa prediksi cuaca, jumlah air, kondisi tanah dengan pemasangan sensor, waktu pemupukan yang tepat dan jumlah pemupukan, serta cara menghadapi dan menangani serangan hama. Informasi yang didapat melalui sensor tersebut harus dapat dipahami oleh petani dan dapat diakses secara realtime. Selain digunakan pada sisi budi daya, teknologi smart farming bisa diterapkan juga sebagai penduga emisi gas rumah kaca.
“Pengukuran dan pendugaan emisi gas rumah kaca juga merupakan suatu hal yang penting di dalam upaya untuk menentukan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” tambah Bayu.
Salah satu praktisi teknologi irigasi tetes komoditas hortikultura pada lahan kering, Yance menyampaikan bahwa banyak lahan di Indonesia yang tidak dimaksimalkan secara baik akibat iklim yang tidak menentu dan ketersediaan air yang terbatas.
“Masalah selanjutnya, petani di Indonesia 90 persen berusia di atas 47 tahun. Sangat sedikit generasi muda dan anak petani yang ingin melanjutkan profesi orang tuanya. Pola pertanian masih mempertahankan sistem pertanian konvensional atau lebih mengandalkan tenaga kerja manusia dan petani tidak mengetahui analisis unsur hara tanah,” ungkap Yance.
Yance melanjutkan bahwa dengan didukung smart farming membuat petani dapat mengetahui sensor ph tanah dan kelembapan, sensor suhu dan perkiraan cuaca, kontrol pengairan, sensor NPK dan water flow.
Pemanfaatan teknologi di lahan menjadi poin penting dalam peningkatan produktivitas pertanian dan akan berpengaruh pada kesejahteraan petani. Namun, dalam pemanfaatannya diperlukan teknologi yang mencapai skala mikro atau lokal agar lebih bermanfaat dan tepat jika digabungkan dengan berbagai teknologi pendukung lain. (PW)