Kementan Dorong Pengendalian Hayati Dalam Mendukung Kesehatan Tanah dan Mengurangi Efek Rumah Kaca
Kementan Dorong Pengendalian Hayati Dalam Mendukung Kesehatan Tanah dan Mengurangi Efek Rumah Kaca
Pilarpertanian - Pemanasan Global berdampak negatif terhadap banyak sektor, termasuk pertanian. Terjadinya banjir dan longsor, kekeringan yang panjang pada musim kemarau, serta musim yang tidak menentu memberikan dampak terhadap produktivitas pertanian. Ironisnya, pertanian turut menyumbang gas rumah kaca (GRK) yang memicu pemanasan global. Berdasarkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menyelenggarakan Bimbingan Teknis dan Sosialisasi (BTS) Propaktani pada Rabu (17/5) dengan tema “Pengendalian Hayati Dalam Mendukung Kesehatan Tanah dan Mengurangi Dampak Efek Rumah Kaca (GRK) Melalui Pemberdayaan Petani”.
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Mohammad Takdir Mulyadi, menyampaikan selain sebagai penyumbang gas rumah kaca, sektor pertanian juga menanggung dampak efek gas rumah kaca (GRK) yang mengakibatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan terganggu, pergeseran pola cuaca, peningkatan intensitas anomali cuaca (La nina dan El nino), iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan serta munculnya OPT baru.
“Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari kegiatan pertanian berasal dari emisi gas metana (CH4) dari budidaya padi yang dihasilkan melalui dekomposisi bahan organik secara anaerobik pada lahan sawah, emisi gas karbon dioksida (CO2) dari penggunaan pupuk urea, serta emisi gas dinitrogen oksida (N2O) dari pengelolaan lahan” ujar Takdir.
Direktorat Perlindungan telah melaksanakan berbagai kegiatan utama dalam usaha meningkatkan kesuburan tanah dan pengurangan efek GRK pertanian, yaitu Kegiatan Pemberdayaan Petani Dalam Pemasyarakatan PHT (P4).
“Petani diberdayakan untuk menghasilkan, mengembangkan dan mengaplikasikan agens pengendali hayati dalam pengelolaan OPT. Selain itu juga menerapkan Budidaya Tanaman Sehat (BTS), Penerapan Pengendalian Hama Terpadu, serta Pemberdayaan Pos Pelayanan Agens Hayati dan Pengembangan APH” tambahnya.
Senada dengan Takdir, Dr. Ir. Woro Estiningtyas, M.Si (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi) menjelaskan dampak perubahan iklim sangat signifikan pada sektor pertanian. Peningkatan suhu udara serta perubahan pola dan intensitas curah hujan berpengaruh langsung terhadap luas tanam dan produksi, termasuk dampak tidak langsung berupa munculnya dan menyebarnya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Serangan OPT memberikan dampak berupa penurunan produksi padi hingga 80% dan bahkan menyebabkan gagal panen (puso) jika tidak dilakukan upaya antisipasi dan tindakan pengelolaan.
“Mengingat pentingnya peran sektor pertanian dalam mempertahankan ketahanan pangan, maka adaptasi merupakan prioritas agar ketahanan pangan tidak terganggu oleh dampak perubahan iklim. Aksi adaptasi sektor pertanian merupakan aksi utama untuk meningkatkan ketangguhan sektor pertanian menghadapi dampak Perubahan iklim dengan mendatangkan manfaat tambahan (co-benefits) berupa perbaikan kualitas sumberdaya lahan, perbaikan kehidupan petani, serta penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)” ungkap Woro.
Selanjutnya, Beata Ratnawati, S.T., M.Si (IPB) menjelaskan, terdapat delapan kegiatan inti yang dilakukan sektor pertanian dalam upaya pengurangan emisi. “Pemeliharaan dan perbaikan jaringan irigasi, optimalisasi lahan, penerapan teknologi budidaya tanaman (SLPTT, STI, varietas rendah emisi), pemanfaatan pupuk organik dan biopestisida (UPPO), pengembangan areal perkebunan di lahan tidak berhutan / lahan terlantar, pemanfaatan kotoran / urin ternak dan limbah pertanian untuk biogas, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan, serta pengembangan pengelolaan lahan pertanian di lahan gambut terlantar dan terdegradasi” ujar Beata.
Prof. Dr. Agr. Tualar Simarmata, dari Department of Ilmu Tanah dan Sumber Daya lahan Universitas Padjadjaran memaparkan, untuk meningkatkan kesehatan tanah dan produktivitas pertanian lentur iklim yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan rekacipta dan pengelolaan mikroba tanah (rhizomikrobioma).
”Rhizomikrobioma sebagai pencernaan eksternal tanaman memegang peranan penting dalam proses ketersediaan hara, kesehatan tanah (soil health and soil quality) untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman menghasilkan produk yang sehat” tambah Tualar.
Terpisah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Suwandi menyampaikan bahwa Kementan akan selalu siap membantu petani dalam menangani gangguan DPI di lahan persawahannya. Sesuai arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, untuk tetap konsisten mengamankan produksi pangan dengan sigap dan cara-cara yang baik.
“Seluruh stakeholder pertanian siap untuk mengamankan produksi tanaman pangan dari gangguan DPI. Dem Area Penanganan DPI menjadi bukti konkret komitmen Kementan dalam menjaga produksi tanaman pangan” tutup Suwandi.(ND)