Perkuat Ketahanan Pangan, Mentan SYL Genjot Industri Tepung Tapioka dan Sagu
Perkuat Ketahanan Pangan, Mentan SYL Genjot Industri Tepung Tapioka dan Sagu
Pilarpertanian - Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) terus memperkuat ketahanan pangan nasional melalui komoditas pangan lokal, salah satunya dengan menggairahkan pengembangan budidaya ubi kayu hingga industri tapioka dan komoditas sagu. Perihal ini, Mentan SYL, Sabtu (8/8/2020), berkunjung ke pabrik tepung tapioka dan sagu di Bangka Induk, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel).
Menteri Pertanian didampingi Gubernur Babel, Erzaldi Rosman meninjau PT. Bangka Asindo Agri (BAA) pabrik tepung tapioka yang sudah lama berdiri di Kabupaten Bangka. Ubi kayu sebagai komoditas tanaman pangan yang sedang gencar-gencarnya digalakkan sebagai pengembangan pangan lokal.
Mentan SYL mengatakan, untuk menjaga pasokan pangan tetap aman terutama di masa pandemi Covid 19, perlu alternatif pengembangan pangan lokal seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, jagung, talas, sorgum, dan lainnya. Penguatan pangan lokal sangat penting mengingat sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan saat ini menjadi pengungkit utama pertumbuhan perekonomian.
“Ubi kayu banyak digunakan untuk industri tapioka. Industri tapioka akan tumbuh jika ada kemitraan. Spek ubi kayunya harus bagus dan ada kemitraan dengan skala kawasan,” sebut Mentan SYL.
Perlu diketahui, baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis sektor pertanian menjadi penyumbang tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan II 2020 yang mengalami penurunan sebesar 4,19 persen (Q to Q) dan secara year on year (yoy) turun 5,32 persen. PDB pertanian tumbuh 16,24% pada triwulan-II 2020 (q to q) dan bahkan secara yoy, sektor pertanian tetap berkontribusi positif yakni tumbuh 2,19%. Subsektor tanaman pangan tumbuh paling tinggi yakni sebesar 9,23 persen sehingga menjadi penyelamat pertumbuhan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
Karena itu, SYL menegaskan ubi kayu beserta olahan turunannya, seperti mie, dapat menjadi pendorong perekonomian dan sumber ketahanan pangan negara. Produk ini sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia dan juga pasar ekspor.
“Kita punya tepung, sagu dan tapioka itu, kemudian sekarang sudah masuk kepada mie. Dimana mie itu kan menjadi pilihan-pilihan makanan orang Indonesia. Dan kita berharap memang menjadi kekuatan Indonesia ke depan,” terangnya.
Di tempat sama, Gubernur Babel, Erzaldi Rosman menyatakan sangat mendukung upaya Kementerian Pertanian (Kementan) yang memprioritaskan program ketahanan pangan lokal. Dengan demikian, diversifikasi pangan menjadi salah satu alternatif yang harus serius dikembangkan.
“Kami kembangkan ubi kayu dan sagu untuk kepentingan industri. Di Babel ada 5 pabrik tapioka sejenis dan kita selalu menghimbau kerja sama kemitraan dengan petani. Petani kami himbau bisa menyediakan bahan baku secara kontinu dan berkualitas agar industri dapat terus berjalan,” tuturnya.
PT BAA salah satu industri yang bergerak di tepung tapioka dan sagu telah lama mengembangkan tepung tapioka berbahan baku singkong. Bahan baku singkong yang dibutuhkan 500 ton/hari. Hasilnya berupa tapioka dengan kapasitas 125 ton/hari. Untuk memenuhi industri tersebut, diperlukan panen singkong/ubi kayu 20-25 ha/hari atau setara dengan 9.000 ha/ tahun. Pasar tapioka selama ini dijual ke Palembang, Lampung, Surabaya dan Sidoarjo dan beberapa Kota Lainnya di Nusantara.
Direktur PT BAA, Fidrianto alias Abo mengatakan pabrik ini dipastikan akan menampung hasil panen petani, khusus mitranya yang tergabung dalam Gapoktan. Syaratnya, agar petani dapat menerapkan budidaya ubi kasesa secara optimal agar bisa mendapatkan hasil panen melimpah dan berkualitas.
“PT. BAA butuh bahan baku ubi kayu kapasitas 400 ton per hari dengan hasil berupa tepung tapioka. PT. BAA juga memproduksi dan mengolah sagu Rumbia yang menghasilkan tepung sagu sebagai Bahan Baku Sagomee. Tepung sagu ini dengan kualitas tinggi dan terjamin, di mana warna produknya putih dan bersih,” ucapnya.
Pada kunjungan ini, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi menegaskan pengembangan budidaya ubi kayu arahnya untuk substitusi impor. Kunci pengembangan produksi ada di provitasnya dan harga, dimana peningkatan provitasnya 60 sampai 70 ton per hektar sebagaimana yang sudah dicapai di beberapa lokasi dan di luar negeri.
“Varieras ubi kayu adalah casesa, provitasnya 25 sampai 28 ton per hektar, kandungan pati 25 sampai 27 persen lebih tinggi dari daerah lain. Kebun singkong rakyat se Babel 15 ribu hektar memasok 5 pabrik tapioka se Babel, tiga diantaranya skala besar,” ujarnya.
Oleh karena itu, Suwandi menekankan, petani harus masuk kelas yakni bergabung menjadi korporasi. Sebab, masalah turunnya produksi singkong ditengarai karena pasar kurang menarik dan adanya kompetisi dengan produk lain yang harganya lebih tinggi ataupun umur lebih pendek seperti contohnya jagung. Adapun beberapa varietas ubi kayu unggul lainnya yang perlu dikembangkan petani seperti varietas gajah, cimanggu super, manggu, mukibat dan varietas lainnya.
“Semua bersama bangun singkong Indonesia jadi pangan lokal yang bisa didorong dalam bentuk korporasi. Terdapat potensi lahan 31 ribu hektar di Bangka Belitung untuk dikembangkan ubi kayu,” tegas Suwandi.
Lebih lanjut Suwandi menjelaskan, untuk memajukan dan mensejahterakan petani ubi kayu perlu penanganan model korporasi karena di korporasi terintegrasi jadi satu inputnya. Dengan korporasi yang memanfaatkan mekanisasi dan bekerjasama menjadi off taker industri maka petani akan mendapat kemudahan sumber pendanaan untuk KUR.
Yang menjadi kunci selanjutnya, sambungnya, adalah teknologi pengolahan. Ada sekitar 28 produk turunan yang bisa dimanfaatkan untuk dikembangkan ke pasar maupun supermarket dengan branding yang bagus.
“Makanan lokal kuncinya ada di hilir market driven, bagaimana mencreate pasar supaya pangan lokal jadi lifestyle. Bangun market drivennya, pasar dibangun, baru produksi mengikuti. Kalau pasar bagus, petani akan mengikuti berproduksi,” tandas Suwandi.(BB)