Pola Kemitraan Terbukti Dorong Tingkatkan Ekspor Pisang
Pola Kemitraan Terbukti Dorong Tingkatkan Ekspor Pisang
Pilarpertanian - Kabupaten Tanggamus, Lampung, merupakan salah satu sentra pisang nasional yang saat ini dijadikan model percontohan pengembangan kawasan hortikultura. Pengembangan pisang di Kabupaten Tanggamus juga sudah bermitra dengan PT. GGP (Great Giant Pineapple) sebagai off taker dan kelompok tani yang tergabung dalam Koperasi Tani Hijau Makmur. Pola kerja sama ini merupakan model pengembangan kawasan berbasis korporasi, di mana koperasinya difungsikan sebagai korporasi yang bermitra dengan perusahaan.
Saat ini, kemitraan di Kabupaten Tanggamus terus meningkat hingga mencapai luasan lebih dari 200 hektare kawasan pisang mas yang melibatkan 234 petani dari 7 kelompok tani di delapan kecamatan.
Sejak 2018, pisang mas program kemitraan dengan petani di Kabupaten Tanggamus telah berhasil diekspor ke Singapura, Timur Tengah dan Tiongkok. Melalui pola ini ternyata pemasaran pisang memiliki potensi ekspor yang cukup besar. Bahkan kebutuhannya belum dapat dipenuhi karena banyaknya permintaan.
Permintaan ekspor pisang Mas ke Singapura baru seperlimanya dapat dipenuhi oleh petani mitra. Pada tahun 2020, Direktorat Buah dan Florikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian telah mengalokasikan program pengembangan kawasan pisang di kabupaten Tanggamus seluas 200 hektare yang nantinya akan menjadikan lokasi kawasan komersil yang berbasis ekspor.
Pisang Mas Tanggamus ini mulai berproduksi rata-rata di usia 9 bulan pertanaman dan bisa dipanen sebanyak delapan kali. Panen berikutnya selang 4 bulan sekali. Awal panen satu tandan bisa memiliki berat 10 kg. Panen berikutnya bobot bisa bertambah berkisar 11 – 16 kg.
“Sekarang ini satu hektare areal tanam mencapai 1.300 pohon. Ke depan akan ditingkatkan mencapai 2.000 pohon,” ujar Ketua Kelompok Tani Hijau makmur, M. Nur Sholeh.
Menurutnya, apabila satu tandan pisang dihargai Rp 2.500 per kg, maka nilai produktivitas pisang mencapai Rp 160 juta per hektare. Bayangkan apabila harga dikeluarkan dari koperasi senilai Rp 6.500 per kg dalam bentuk kemasan.
“Nilai ini tentu lebih menguntungkan petani. Untuk satu hektare kalau 2.000 pohon saja, petani bisa dapat kurang lebih Rp 160 juta per hektare. Ini lebih baik dari pada bertani singkong,” tambah Sholeh.
Pola Kemitraan
Kerja sama antara perusahaan dan koperasi dilakukan dengan perjanjian kontrak. Skemanya adalah petani menjual produk kepada koperasi. Koperasi inilah yang menjual ke perusahaan mitra. Petani Pisang Mas Kabupaten Tanggamus diuntungkan dengan skema kerja sama berbentuk korporasi ini. Selain kepastian harga, pembinaan dalam hal budidaya dan pengawalan mutu produksi, petani juga diuntungkan dengan semakin luasnya jangkauan pasar bahkan mampu menembus pasar ekspor.
Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, untuk selalu berkomitmen dalam menggenjot ekspor produk hortikultura terutama buah-buahan melalui pola kemitraan.
Saat dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto mengapresiasi Pisang Mas Kabupaten Tanggamus yang dapat menembus pasar Singapura, China dan Timur Tengah.
Pria yang akrab di panggil Anton ini mengatakan, “Melalui pola kemitraan pisang mas dari Kabupaten Tanggamus telah berkontribusi terhadap peningkatan ekspor pisang segar Indonesia.”
Anton mengharapkan melalui ekspor pisang mas di Kabupaten Tanggamus dapat menjaga keberlangsungan pendapatan petani di tengah pandemi ini serta menjadi contoh bagi para petani pisang daerah lain untuk lebih meningkatkan produksi dan kualitasnya menjadi lebih baik.
Senada, Direktur Buah dan Florikultura, Liferdi Lukman memberikan apresiasi kepada petani Tanggamus karena telah mampu menghasilkan buah pisang Mas bermutu melalui pola kemitraan.
“Kami akan terus mendorong dan mengingatkan para petani agar terus melakukan pola kemitraan dengan pihak swasta sehingga jangkauan pemasaran pisang menjadi lebih luas dan menguntungkan,” ungkapnya.
Liferdi menerangkan bahwa pengembangan buah dan florikultura diarahkan pada pembentukan kebun dengan skala luas, serta diintegrasikan dengan pihak swasta dalam bentuk kemitraan. Meskipun kepemilikan lahan rakyat kecil, ketika dikelola secara profesional dapat menghasilkan produk yang dapat dipasarkan hingga pasar ekspor.
“Harapan ke depannya, model kemitraan ini akan mampu menjadi pendorong bagi ekspor berkelanjutan komoditas hortikultura, yang berdampak pada peningkatan perekonomian Indonesia melalui penambahan neraca ekspor,” tutup Liferdi.(BB)