Pilar Pertanian

Berita Pertanian Aktual

10 December 2016

Importasi Indukan Dan Pemotongan Betina Produktif

Importasi Indukan Dan Pemotongan Betina Produktif
10 December 2016

Importasi Indukan Dan Pemotongan Betina Produktif

Pilarpertanian - Pemerintah menginginkan swasembada daging sapi dapat segera tercapai, selambat-lambatnya pada tahun 2026. Demikian penegasan Presiden Joko Widodo ketika berkunjung ke pembibitan sapi PT. Karya Anugerah Rumpin, Bogor, Jawa Barat, Selasa, 21 Juni 2016. Penegasan ini juga menjadi pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian.

Pilar Pertanian – Berbicara swasembada sebenarnya hanya ada dua hal dasar yang harus dilaksanakan, yaitu pertama adalah peningkatan populasi sapi didalam negeri terutama sapi betina indukan sampai jumlah minimal ketika konsumsi tidak lagi mengurangi populasi dasar dan hal mendasar kedua adalah peningkatan produktivitas sapi sehingga laju konsumsi tidak menggerus pertumbuhan populasi.

Meski program swasembada daging sapi sudah 3 kali dicanangkan, sayang hasilnya belum sesuai harapan. Yang ada bukannya populasi sapi makin meningkat namun justru malah makin menurun. Jika pada tahun 2011 populasi sapi dalam negeri tercatat 16,49 juta ekor, menurut BPS pada Juni 2013 menyusut 3,22 juta ekor tinggal 13,27 juta ekor atau turun hampir 19,5%. Lantas dimana salahnya?

Kembali ke pokok persoalan. Upaya peningkatan populasi selama ini belum menjadi fokus kebijakan. Baru pada periode ini ada upaya meningkatkan populasi, meskipun upaya itu juga dinilai kurang logis. Bila data pemotongan betina produktif yang dikeluarkan beberapa pihak bisa diterima yakni sekitar 200.000 ekor per tahun, maka ketika kejadian ini kurang mendapat perhatian yang serius, itu sungguh sebuah bencana. Bila nilai 200.000 betina produktif adalah Rp 2 Trilyun dengan asumsi per ekor pun hanya dihargai Rp 10.000.000. Nilai yang sangat besar dibandingkan dengan upaya importasi 25.000 indukan dari Aussy yang kepastian produktifnya pun belum bisa dipastikan.

Upaya mempertahankan betina produktif dan unggulan harusnya menjadi perhatian serius pemerintah, bukannya justru mendatangkan indukan dari negara lain. Jenis sapi yang belum tentu cocok dengan budaya beternak para peternak kita dan belum tentu cocok bila dipelihara di dalam negeri.

Sebenarnya importasi indukan bukan kebijakan yang salah, tapi mengapa tidak memprioritaskan anggaran untuk mengembangkan varietas lokal yang sudah terbutkti memiliki keunggulan seperti sapi bali, sapi madura, sapi onggole dan sapi aceh. Mengapa importasi terkesan lebih menarik dan lebih disukai daripada upaya penyelamatan sapi lokal yang sudah ada?

Beberapa program mempertahankan betina produktif bagaiamana kabarnya sekarang? Dulu ada dana bergulir untuk kelompok tani yang diperuntukkan membeli sapi betina yang dijual oleh peternak untuk dikembalikan ke kelompok dan dipelihara kelompok sehingga sapi tidak jadi dipotong. Sepertinya program tersebut tidak berjalan.

Untuk mempertahankan betina produktif, ada peraturan yang melarang RPH memotong sapi betina produktif. Peraturan ini tidak jalan karena tidak ada anggaran untuk menjalankannya. Anggaran diperlukan karena ada sejumlah konsekuensi terkait penegakan hukum yang tidak dipenuhi.

Program tersebut, selain memberdayakan peternak lokal juga otomatis mempertahankan plasma nutfah yang ada. Demikian pun, potensi dana dan valuta asing tidak terkuras keluar.

Untuk itu, kebijakan yang berdampak pada utuhnya atau dapat berkembangnya populasi lokal harus digencarkan. Bukan kebijakan yang justru menyebabkan terkurasnya populasi sapi lokal. Karena itu, importasi indukan dan importasi daging serta sapi konsumsi tidaklah salah sepanjang produktivitas sapi lokal dan populasi juga terus ditingkatkan.

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *