Pilar Pertanian

Berita Pertanian Aktual

10 December 2016

SIWAB Jalan Menuju Swasembada

SIWAB Jalan Menuju Swasembada
10 December 2016

SIWAB Jalan Menuju Swasembada

Pilarpertanian - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2017 akan melancarkan program SIWAB atau Sapi Indukan Wajib Bunting. Ibarat sebuah kendaraan, siwab diyakini dapat mengantarkan bangsa ini mencapai swasembada daging sapi. Berarti tahun depan, akan ganti kendaraan. Sekarang, sampai akhir tahun 2016 masih pakai SPR (Sentra Peternakan Rakyat).

Pilar Pertanian – Sesungguhnya, sejak tahun 2000 pemerintah sudah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Juga sudah beberapa kali ganti program dan strategis, tapi sampai sekarang belum juga terwujud. Bahkan persoalan daging semakin rumit dan komplek. Pertengahan tahun 2015, pedagang daging mogok jualan, KPPU membongkar mafia perdagangan sapi, harga daging tetap tinggi. Lalu menjelang Ramadhan 1437/2016, Presiden Joko Widodo minta kepada para menterinya untuk menurunkan harga daging dibawah Rp80.000/kg.

Menteri Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 48/Permentan/PK210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting. Permentan ini merupakan payung hukum untuk mempercepat pelaksanaan Siwab melalui Upaya Khusus (Upsus Siwab).

Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan I Ketut Diarmita, Upsus siwab 2017 dilaksanakan melalui strategi optimalisasi pelaksanaan inseminasi di 33 propinsi yang dibagi menjadi tiga bagian :

Pertama, daerah sentra sapi yang pemeliharaannya dilaksanakan secara intensif yaitu di Jawa, Bali, dan Lampung dengan populasi betina sebanyak 3,3 juta. Kedua, daerah sentra peternakan dengan sistem pemeliharaan semi intensif di Sulawesi Selatan, Sumatera, dan Kalimantan dengan potensi populasi betina sebanyak 1,9 juta ekor.

Ketiga, daerah pemeliharaan ekstensif dengan total populasi betina sebanyak 700.000 ekor yang tersebar di provinsi NTT, NTB, Papua, Maluku, Sulawesi, NAD dan Kaltara.

“Untuk mendukung keberhasilan upsus siwab, akan dilaksanakan beberapa kegiatan, di antaranya, penanaman rumput dan legume seluas 13.000 hektare, penyediaan embung (sumber air), serta penyediaan obat-obatan dan vaksin untuk meningkatkan status kesehatan hewan”, kata I Ketut Diarmita di Jakarta, Rabu (9/11/2016).

“Tahun ini kami menyusun target 4 juta ekor betina produktif yang akan diberikan IB. Target kehamilan minimal 75 persen atau 3 juta kelahiran baru,” jelasnya.

Berdasarkan Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, populasi sapi dan kerbau mencapai 15,1 juta ekor yang terdiri dari 13,5 juta sapi indukan, 472.000 sapi perah, dan 1,1 juta ekor kerbau. Jumlah populasi sapi dan kerbau betina dewasa saat ini mencapai 5,62 juta ekor. Sebesar 71,76 persen atau setara 4,03 juta ekor merupakan betina produktif.

Dari data Kementan pada 2015, dengan program inseminasi buatan (IB), dari 2 juta sapi yang diprogramkan, pemerintah diharapkan menambah 1,4 juta ekor anakan (70%). Siwab, secara holistik diharapkan mampu mengatasi berbagai kendala dan masalah pengembangan peternakan sapi di Indonesia.

MASALAH PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI

Menurut Iskandar Andi Nuhung (Kinerja, Kendala dan Straegi Pencapaian Swasembada Daging Sapi, 2015) ada beberapa persoalan yang dihadapi baik bersifat teknis maupun nonteknis (kebijakan, manajemen, koordinasi) yang telah menghambat dan memperlambat pembangunan peternakan sapi. Padahal pemerintah sudah mencanangkan swasembada sapi selama dua dekade.

Persoalan pertama, masih lemahnya dukungan politik dan kebijakan pembangunan industri ternak sapi. Sementara itu, kebijakan dan program pengembangan ternak sapi yang sudah dibuat tidak didukung oleh sumber daya yang mamadai terutama alokasi pembiayaan baik dalam bentuk APBN maupun kredit perbankan. Hal ini disebabkan karena koordinasi regulasi antar instansi yang lemah.

Ada lima penyebab ketidakberhasilan swasembada daging, yaitu (1) kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci; (2) program-program yang dibuat bersifat top down dan berskala kecil dibanding dengan sasaran yang ingin dicapai; (3) strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi komoditas unggulan; (4) implement-tasi program-program tidak memungkinkan untuk dilaksanakan evaluasi dampak program; dan (5) program- program tidak secara jelas memberikan dampak kepada pertumbuhan populasi secara nasional.

Persoalan kedua, manajemen pembangunan peternakan sapi cenderung bersifat alamiah, tanpa terobosan baru. Hal ini terlihat dalam statistik perkembangan populasi dengan tingkat pertumbuhan yang relatif rendah.

Pola dan sistem pengembangan ternak sapi masih mencari bentuk, sehingga pada umumnya masih bersifat uji coba, misalnya dengan pola integrasi sapi-sawit, pola kemitraan dan program-program lainnya. Konsep integrasi sawit-sapi yang sudah dikembangkan sejak tahun 2003 belum dimaknai sebagai suatu program nasional yang mengikat semua sektor.

Pengendalian plasma nutfah ternak sapi, semakin terkendala apalagi dalam era globalisasi yang tidak mengenal lagi batas geografis. Hal ini menyebabkan sumber genetik sapi lokal telah banyak hijrah ke negara lain. Selain itu kawasan pengembangan tidak terkonsentrasi secara spasial untuk memudahkan penge- lolaan, pembinaan, sistem distribusi, dan pe- masarannya.

Program Sarjana Membangun Desa (SMD) yang dalam beberapa daerah telah berhasil merubah pola pikir peternak perlu diperkuat dalam pengembangannya. Strategi pembangunan peternakan sapi, cenderung lebih mengarah kepada upaya defensif terutama dengan pertimbangan kesehatan hewan, sehingga sumber-sumber benih dari negara lain, di luar negara yang selama ini menjadi langganan impor sapi cenderung dibatasi.

Misalnya, kegiatan perdagangan sapi hanya dilakukan dengan negara-negara yang bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), yang rekomendasinya dari OIE (Office International des Epizootics) yang berkedudukan di Paris, sehingga pasokan dari negara lain menjadi tertutup, meskipun di beberapa bagian negara tersebut sebetulnya sudah bebas PMK. Akibatnya, pasar mengarah pada bentuk pasar monopolistis atau oligopolistis yang bisa mengarah kepada kartel.

Persoalan ketiga, tingkat validitas dan reliabilitas data yang lemah. Suatu hal yang seringkali menyulitkan dalam penyusunan perencanaan adalah ketersediaan data yang akurat dan valid. Hal ini juga terjadi pada peternakan sapi.

Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian berdasarkan inventarisasi dan pendataan yang dilakukan oleh tim inventarisasi populasi ternak ternyata berbeda cukup signifikan dengan data hasil Sensus Pertanian 2013 dengan perbedaan hingga dua juta ekor.

Statistik Pertanian hasil inventarisasi menunjukkan populasi sapi tahun 2013 dan 2014 sekitar 15,9 juta dan 16,6 juta ekor, sementara hasil sensus sebanyak 12,7 juta ekor dan 14,7 juta ekor pada tahun yang sama. Angka terakhir tersebut (hasil sensus pertanian, 2013) sama dengan angka populasi versi Kementerian Pertanian tahun 2008, artinya jika angka statistik pertanian itu akurat, maka dari tahun 2008 sampai tahun 2013 tidak ada pertumbuhan populasi sapi nasional.

Persoalan keempat, pola pengembangan terutama dalam tiga setengah dasa warsa terakhir yang mengede-pankan pengembangan ternak rakyat dan semakin mengurangi peranan peternak besar atau ranch.

Indonesia dalam 30 tahun terakhir tidak lagi memiliki sistem ranch yang memerlukan lahan luas (1 ekor/ha). Peternak besar (feedlotters) hanya memiliki kurang dari 2% dari populasi sapi potong nasional dan 98% merupakan peternak tradisional.

Dalam ilmu ekonomi seperti diketahui bahwa usaha produksi dengan kuantitas yang lebih kecil cenderung harga pokoknya menjadi tinggi. Harga daging impor lebih murah karena diusahakan dalam skala besar sehingga harga pokok per satuan produk menjadi lebih rendah, akibatnya harga daging domestik tidak dapat bersaing dengan daging impor.

Daging impor memiliki kualitas dan higienis yang lebih terjamin karena pengelolaan dan pemotongannya sudah modern. Jadi, sepanjang diusahakan dengan skala usaha kecil sangat sulit bersaing dengan daging sapi impor.

Dalam beberapa dekade terakhir, sulit ditemukan usaha ternak sapi skala besar, padahal sampai dengan akhir tahun 1970-an banyak ranch yang dikembangkan oleh investor seperti yang banyak dijumpai di Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jawa Timur, dan Lampung.

Program pembangunan ternak sapi yang dikembangkan oleh pemerintah pada umumnya untuk membangun peternakan rakyat, bahkan bantuan luar negeri untuk peternakan sapi hampir seluruhnya diarahkan untuk membangun peternakan rakyat dan tidak ada yang ditujukan untuk membangun peternakan skala menengah dan besar. Padahal peternak skala menengah inilah yang mampu menjadi penggerak pembangunan peternakan.

Persoalan kelima, sifat dan karakteristik usaha ternak sapi rakyat yang belum komersial. Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa sentra peternakan sapi diperoleh gambaran bahwa ternak sapi hampir seluruhnya diusahakan oleh peternak kecil dengan jumlah yang terbatas.

Pada umumnya motif pemeliharaan sapi bagi masyarakat tradisional adalah (1) sebagai tenaga kerja dalam bertani, baik untuk mengolah tanah maupun untuk transportasi hasil dan sarana produksi termasuk rumput; (2) sebagai simbol status sosial di dalam masyarakat dan sering dijadikan mahar ketika hajatan perkawinan keluarga; (3) sebagai aset atau tabungan untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada keperluan uang yang mendesak untuk keperluan keluarga, misalnya mengawinkan anak, bayar uang sekolah, untuk haji/umroh.

Budaya tersebut menggambarkan bahwa sapi yang dipelihara tidak untuk keperluan pasar atau bukan sepenuhnya untuk dijual. Inilah persoalan yang dihadapi ketika diinventarisasi bahwa sesungguhnya sapi mencukupi, tapi tidak masuk pasar, sehingga pasokan sapi di pasar rendah dan harga menjadi tinggi. Terjadi overestimted terhadap pasokan.

Persoalan keenam, pengembangan ternak sapi membutuhkan lahan yang luas, terutama untuk membangun usaha ternak yang ekonomis dengan skala usaha yang besar.

Ladang penggembalaan di masa lalu sekarang sebagian besar sudah beralih fungsi, sehingga lahan rerumputan untuk ternak semakin terbatas. Sementara itu, para peternak masih belum dapat mengakses dengan baik pakan buatan baik dari sudut finansial maupun secara fisik karena belum banyak tersedia secara lokal.

Lahan-lahan luas yang masih dapat dijumpai di luar Jawa, belum dapat digunakan secara efektif karena keterbatasan infrastruktur jalan, transportasi, listrik, air bersih, dan infrastruktur ekonomi lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir dikembangkan integrasi sapi dengan kelapa sawit, dengan memanfaatkan bungkil inti sawit yang merupakan produk samping dari perkebunan kelapa sawit yang memiliki nilai nutrisi dan mengandung protein yang tinggi untuk ternak ruminansia.

Persoalan ketujuh, ketersediaan bibit/bakalan terutama yang bermutu baik atau bibit unggul sangat terbatas. Bisnis pembibitan sapi nampaknya tidak menarik bagi investor. Hal ini disebabkan (1) memiliki risiko yang besar; (2) perputaran modal lambat; (3) tidak tersedia insentif kredit murah; (4) status lahan padang pengembalaan tidak pasti dan masa berlaku HGU yang pendek, yaitu 25-30 tahun saja.

Pelaku usaha pembibitan sapi potong sebagian besar dilakukan oleh usaha peternakan rakyat dengan pola induk anak (cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan biasanya terintegrasi dengan usaha pertanian lainnya.

Dengan demikian, kemampuan produksi bibitnya sangat kecil dan keunggulannya tidak terjamin karena sebagian besar memang terjadi secara alamiah. Industri perbibitan memang menjadi cost center tetapi bukan tidak mungkin untuk dikembangkan.

Persoalan kedelapan adalah lemahnya koordinasi baik antarinstansi maupun antara daerah dengan pusat, serta antar pemerintah dan dunia usaha.

Masalah klasik yang selalu muncul dan berulang misalnya adalah kewenangan dalam proses impor sapi. Dalam Undang- Undang Peternakan yang lama, yaitu UU 64/1964, UU 18/2009 atau UU 41/2014 yang sedang diusulkan untuk judicial review, kewenangan itu diberikan kepada Kementerian Pertanian dalam hal ini Ditjen Peternakan. Saat ini kewenangan itu sudah hijrah ke instansi yang berwenang di bidang perdagangan.

Dalam kondisi seperti itu seringkali terjadi ketidak sepahaman antarinstansi dalam pengelolaan dan proses impor sapi. Jika harga melonjak naik, maka hampir tidak ada rumus lain kecuali harus impor. Meskipun dari data BPS dan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa stok sapi potong domestik cukup tersedia, tetapi teriakan dari pelaku usaha tataniaga dan konsumen harus segera diredam melalui operasi pasar dan impor.

Kelembagaan yang pengelola aktivitas produksi, distribusi, dan pemasaran sapi cenderung ego sektoral. Sistem pemerintahan dan birokrasi yang mengedepankan evaluasi kinerja masing- masing instansi cenderung cari selamat, dan seringkali mengabaikan kepentingan sektor lain.

Redaksi dan Informasi pemasangan iklan

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *